PENELITIAN POSITIVISTIK
Sejarah Positivistik
Pada abad ke-19, dunia
filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama
sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah
filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”.
Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa
yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai
dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat,
lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan
perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang
abstrak”.
Auguste Comte, atau
nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 – 1857),
pendiri aliran filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat
terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of
three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik
secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga
tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif,
tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil.
Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah “positif” adalah suatu istilah
yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang
nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1.
Tahap teologi atau fiktif
Tahap ini merupakan tahap pertama atau
awal setiap perkembangan jiwa atau masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu
berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala
sesuatu yang ada. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat
kekuasan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut.
Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak
seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang
lebih tinggi dari makhluk-makhluk insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap
teologi ini tidak akan muncul begitu saja , melainkan didahului pula oleh suatu
perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.
Fetisyisme/animisme, yaitu suatu bentuk kehidupan
masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan,
bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana
kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada
di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan
manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya.
Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti
gunung, pohon, batu dan lain lain.
b.
Politeisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran
yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi
berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal
dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia.
Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus
disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan
tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda, gejala
dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing. Akibatnya, demi
kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan menyembah para
dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c.
Monoteisme,
yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan
kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari
satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan
satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada,
sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia
selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang
dianut manusia.
2.
Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir
pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia mulai merubah
cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Dogma-dogma
agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap
metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap
metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan
apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu
melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya.
Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena itulah dalam tahap
metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di satu pihak pengaruh
Paradigma Positivistik
Secara
etimologis historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras
filsuf Perancis Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan
manusia dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan
inderawi empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan
ilmiah pun dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah
positivistik atau melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan
dan eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi.
Menurut
paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang
diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan
mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan
masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan
pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan
bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi
atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat
efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun
bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Jika
dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek
ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari
secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol;
(b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap
fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas
nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi
meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat.
Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan
studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil
berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham
positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi
berdasarkan rerata tersebut.
Kata kunci positivisme
yang penting adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh
pengalaman indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya:
seseorang pada akhirnya berkesimpulan dan itu “benar”, bahwa logam apapun
jenisnya akan memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada
pengujian terhadap berbagai jenis logam yang memuai saat dipanaskan. Penemuan
bukti bahwa logam tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat
umum, berawal pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan
seperti ini disebut sebagai penalaran induktif.
Cara penalaran ini merupakan proses yang diawali dari fakta-fakta pendukung
yang spesifik, menuju ke arah yang lebih umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh
lainnya: Ayam hitam yang kita amati mempunyai hati. Ayam putih yang diamati
juga mempunyai hati. Kesimpulannya adalah setiap ayam mempunyai hati.
Filsafat positivistik
memberikan pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian
dasar, demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik
sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena
sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui
metode yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu
pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik
sebagai berikut:
1.
Keyakinan bahwa suatu teori memiliki
kebenaran yang bersifat universal.
2.
Komitmen untuk berusaha mencapai taraf
“objektif” melalui fenomena.
3.
Kepercayaan bahwa setiap gejala dapat
dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat.
4.
Kepercayaan bahwa setiap variabel
penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya
diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Pendekatan
Positivistik dalam
Penelitian
Gejala alam maupun
gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk
memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling
manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur.
Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap
alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui
aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa menjalankan
peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi
pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian
dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan
secara sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan
diverifikasi. Dengan begini,
pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara positivistik.
Positivistik
sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk
pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau
statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham
positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu
primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis
dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke
arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif,
terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan
penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya
memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik
atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa
kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya
berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme
yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”,
sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi
justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik
lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh
diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani
membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi
lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi
sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek
peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran
diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti.
Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel
lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah
membangun teori secara handal.
Pendekatan positivistik
mewarnai paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka
mencapai kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting
objektivitas dan validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme
penelitian saat ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Menekankan objektivitas secara universal
dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.
Menginterpretasi variabel yang ada melalui
peraturan kuantitas atau angka.
3.
Memisahkan peneliti dengan objek yang
hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan
agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang hendak
diteliti.
4.
Menekankan penggunaan metode statistik
untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Penelitian
dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum
berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua,
spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti
pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab
masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan
untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun.
Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen,
eksperimen, survei, ex post facto,
analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat
adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara
terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data
penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat
kuantitatif. Kelima, tahap terakhir
berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik
analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor,
analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada
teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)
Penelitian
Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik
Penelitian
kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan
fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah
mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau
hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian
yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan
yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari
hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik
dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga
sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme,
ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan
positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan
penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari
objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham positivistik. Metodologi penelitian
kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas,
dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi,
interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian
kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang
ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau
masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke
kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal
melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat.
Dalam
metode kuantitatif, setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen
tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel
dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang
mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap
seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian
kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel
tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif
cenderung pada pendekatan partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada
penggunaan paradigma positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif.
Filosofi
penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat
secara umum, yaitu :
1.
Ontologi (materi)
merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan
tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif
akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
2.
Epistimologi (metode)
merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana
metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3.
Aksilogi (nilai). Dalam
hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif
yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
Acuan
filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai
berikut:
1.
Acuan hasil penelitian
terdahulu
Sesuai dengan
filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka
sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil penelitian terdahulu”.
2.
Analisis, sintesis dan
refleksi
Metodologi positivistik
menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan,
dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.
Fakta obyektif
a.
Variabel
Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari
hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis
lain.
b.
Eliminasi data
Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan
mengeliminasi variabel yang tidak teliti.
c.
Uji reliabilitas,
validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam
paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut
uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen
tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang
obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat
uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir
diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.
Argumentasi
a.
Fungsi parameter
Sejumlah variabel
diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah
variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak
variabel (bukan sebab-akibat).
b.
Populasi
Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang
memiliki data yang diteliti.
c.
Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan
yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat
memberi warna lain pada populasi yang sama.
5.
Realitas
a.
Desain standar
Kerangka berfikir
hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan
termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas
instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.
b.
Uji kebenaran
Realitas dalam
paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik
dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut
melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean,
simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya.
Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang
diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan
data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
Kritik Positivistik
Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan
ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah
dalam wilayah kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang
menggunakan garis argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia
dan fakta alam yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan
mendasar. Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata
diramalakan (unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1.
Kehendak bebas manusia yang unik
2.
Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk
hukum
3.
Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial
Dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal
membangun konsep teoretik, dengan konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu
yang dikembangkan dengan metode yang melandaskan pada positivisme menjadi
tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang
berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin
konseptualisasi dan tidak memunculkan
teori-teori baru yang mendasar. Sebagai akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami
stagnasi.
DAFTAR PUSTAKA
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Hamami, Tasman, et al. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Denzin, Norman K, et al. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Slamet, Yulius . 2008 . Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Widodo, T. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS
http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/167-perbedaan-paradigma-positivism-dan-interpretivism.html diunduh pada tanggal 12 September 2012
Hanurawan, Fattah. 1998. Pendekatan Positivistik, Interpretif, dan Kritis dalam Penelitian Pendidikan. Forum Penelitian Pendidikan 10, 3-16
4 komentar:
terimakasih Nov ,cukup informativ
Peta konsep penelitian positivistik nya ada?
thank's a lot.
thank you
Posting Komentar