Sabtu, 22 September 2012

Penelitian Positivistik



PENELITIAN POSITIVISTIK

Sejarah Positivistik
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang abstrak”.
Auguste Comte, atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 – 1857), pendiri aliran filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil. Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah “positif” adalah suatu istilah yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1.      Tahap teologi atau fiktif
      Tahap ini merupakan tahap pertama atau awal setiap perkembangan jiwa atau masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja , melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.       Fetisyisme/animisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, pohon, batu dan lain lain.
b.      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia. Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda, gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing. Akibatnya, demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c.       Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang dianut manusia.
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Dogma-dogma agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena itulah dalam tahap metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di satu pihak pengaruh  
Paradigma Positivistik
Secara etimologis historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras filsuf Perancis Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan manusia dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan inderawi empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah pun dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah positivistik atau melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi.
Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan rerata tersebut.
Kata kunci positivisme yang penting adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh pengalaman indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya: seseorang pada akhirnya berkesimpulan dan itu “benar”, bahwa logam apapun jenisnya akan memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada pengujian terhadap berbagai jenis logam yang memuai saat dipanaskan. Penemuan bukti bahwa logam tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat umum, berawal pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan seperti ini disebut sebagai penalaran induktif. Cara penalaran ini merupakan proses yang diawali dari fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju ke arah yang lebih umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh lainnya: Ayam hitam yang kita amati mempunyai hati. Ayam putih yang diamati juga mempunyai hati. Kesimpulannya adalah setiap ayam mempunyai hati.
Filsafat positivistik memberikan pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian dasar, demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui metode yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik sebagai berikut:
1.      Keyakinan bahwa suatu teori memiliki kebenaran yang bersifat universal.
2.      Komitmen untuk berusaha mencapai taraf “objektif” melalui fenomena.
3.      Kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat.
4.      Kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Pendekatan Positivistik dalam Penelitian
Gejala alam maupun gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur. Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa menjalankan peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan secara sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan diverifikasi. Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara positivistik.
Positivistik sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah membangun teori secara handal.
Pendekatan positivistik mewarnai paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka mencapai kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting objektivitas dan validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme penelitian saat ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menekankan objektivitas secara universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.      Menginterpretasi variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka.
3.      Memisahkan peneliti dengan objek yang hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang hendak diteliti.
4.      Menekankan penggunaan metode statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Penelitian dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua, spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)
Penelitian Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik
Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif  merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat.
Dalam metode kuantitatif, setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada penggunaan paradigma positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif.
Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu :
1.   Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
2.   Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3.   Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1.      Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil  penelitian terdahulu”.
2.      Analisis, sintesis dan refleksi
Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.      Fakta obyektif
a.    Variabel
Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.
b.   Eliminasi data
Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti.
c.    Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.      Argumentasi
a.    Fungsi parameter
Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat).
b.   Populasi
Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti.
c.    Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama.
5.      Realitas
a.    Desain standar
Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.
b.   Uji kebenaran
Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya.
Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
Kritik Positivistik
Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar. Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata diramalakan (unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1.      Kehendak bebas manusia yang unik
2.      Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk hukum
3.      Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial
Dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik, dengan konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metode yang melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi dan  tidak memunculkan teori-teori baru yang mendasar. Sebagai akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami stagnasi.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi.2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Hamami, Tasman, et al. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Denzin, Norman K, et al. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Slamet, Yulius . 2008 . Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Widodo, T. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS
http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/167-perbedaan-paradigma-positivism-dan-interpretivism.html diunduh pada tanggal 12 September 2012
Hanurawan, Fattah. 1998. Pendekatan Positivistik, Interpretif, dan Kritis dalam Penelitian Pendidikan. Forum Penelitian Pendidikan 10, 3-16

4 komentar:

Anonim mengatakan...

terimakasih Nov ,cukup informativ

pamuji fap mengatakan...

Peta konsep penelitian positivistik nya ada?

alfiyahrizzya mengatakan...

thank's a lot.

Mira Ferrao Santos mengatakan...

thank you

Posting Komentar