Jumat, 28 September 2012

Aku Wanita

Aku wanita
Aku istimewa dalam cinta
Dengan cinta yang tumbuh bagaikan kuku
Perlahan namun utuh
Aku istimewa dalam cinta
Meski cinta memenuhi ruang hati
Mengalir bersama darah
Namun mampu tersembunyi
Bagai mutiara di dasar lautan
Aku istimewa dalam rasa
Warna warni yang tak terhingga
Kau bilang aku bahagia
Sebenarnya hati kini menghalau duka
Aku wanita dan aku istimewa
Beban yang menggelayut qalbu
Tak akan nampak dalam laku
Aku wanita
Aku istimewa
Kekuatanku adalah kelemahanku
Mandiri namun tak ingin sendiri
Mencintai dan ingin dicintai
Aku wanita dan aku istimewa
Aku mampu menaklukkan dunia
Di tanganku kejayaan bangsa mampu terwujud
Di tanganku pula mampu membinasakannya
Aku wanita bagai sekuntum mawar
Keindahanku tiada ternilai seisi dunia
Keshalihanku mampu menyaingi bidadari surga
Aku wanita dengan mudah menuju surga
Tapi neraka pun mudah pula ku masuki
Dengan taatku, dengan ingkarku
Aku wanita dan aku istimewa

Ajari Aku Teman

Teruntuk teman hidup ku
Teman…
Jika suatu saat nanti kita dipertemukan
Ajari aku sebagai sahabat yang baik
Sahabat selalu mendukung dan mendengar keluh kesah
Seorang pejuang

Teman…
Jika suatu saat nanti kita disatukan
Dalam suatu ikatan yang diberkahi
Ajari ku sebagai seorang istri dan ibu
Mendidik anak-anak yang tangguh dengan segala kondisi
Di rumah kita nanti

Teman…
Jika suatu saat nanti aku salah
Maka ajarilah aku untuk memperbaiki kesalahan itu
Dengan cara-cara penuh kasih dan cinta
Bukan dengan caci maki atau mendiamkannya

Teman…
Jika suatu saat nanti aku tak bisa seperti engkau ingin
Maka terimalah ia apa adanya
Jangan engkau berpaling dari ia
Karena ia sadar jauh dari sempurna
Dan tak cantik

Teman…
Jika suatu saat nanti ia tak bisa mengerti dan paham
Dengan penjelasan dan keinginan engkau semua
Mohon jangan cepat engkau mengatakan
Ia manusia tak berguna

Karena ia perlu proses untuk memahami dan mengerti
Tentang sikap dan rasa engkau
Karena engkau adalah orang baru dalam hidupnya
Selama ini ia hanya paham
Tentang tanggung jawab sebagai anak dan adik

Belum mengerti apa sesungguh peran seorang istri
Ia hanya baru meraba-raba
Melalui perabaan itu
Ia coba untuk memberi terbaik
Untuk teman hidupnya

Teman…
ku berharap pada mu…
Ajari aku untuk mencintai Illah
Ajari aku tentang rindu
Ajari aku tentang perjuangan
Ajari aku tentang ketulusan
Ajari aku tentang kesabaran

Jangan pernah engkau bosan untuk mengajari ia
Karena ia perlu bimbingan….
Melalui bimbingan mu
Ia merasa mulia dan bahagia
Hingga apa kita lalui bersama
Berbuah ketulusan cinta dan mencintai

Cerpen - Hijrahnya Humaira

dakwatuna.com - “Hai, ini Arsy yang dulu pernah satu SMP sama gue ya?”
Ucapan itu memecah keheningan Arafah, salah satu toko buku Islami di kota ku. Toko buku tua yang mungkin hampir tidak pernah dikunjungi mahasiswa atau pun mahasiswi. Letaknya padahal cukup strategis di dekat persimpangan dan dekat dengan gerbang kampus ku.
“Iya, siapa ya?”, ucapnya.
Jujur. Aku malu. Entah kenapa tiba-tiba lidah ini menjadi tidak terkontrol untuk memulai pertanyaan yang bagiku cukup aneh, dan terkesan sok kenal sok dekat (SKSD) sekali. Ya, dia adalah Muhammad Arsy Satria, sosok yang dahulu pernah ada dalam hidupku. Sejak dulu begitu banyak yang mengaguminya dalam diam, kagum atas prestasinya, keaktifannya di OSIS dan Rohis SMP-ku, dan keshalihannya. Dan aku lah salah satu nya, orang yang dalam diam memperhatikannya. Aku yakin dia tak mengenali ku sama sekali. Sangat yakin.
“Gue Humaira,” ucap ku santai.
Rasanya aku ingin terbang hari ini.
***
“Humaira, ke Arafah yuk!”
Handphone-ku bergetar, ada sebuah pesan yang masuk, dan itu pesan darinya, dari Arsy. Seiring perjalanan waktu, akhir-akhir ini kita cukup dekat. Sesekali kita menghabiskan waktu berlama-lama di Arafah. Arsy sangat suka berdiskusi tentang buku-buku baru atau pun seputar organisasi yang digelutinya. Kadang dia juga bercerita tentang KL (kuliah lapangan) yang dilakukannya di kota ini, terkadang juga dia ceramah seputar Islam. Aku hanya mendengar, tepatnya lebih banyak mendengar. Tidak ada topik yang berarti yang harus aku ceritakan padanya.
Dunia ku tidak sehebat dunia Arsy, aku hanya aktivis biasa di kampus ku, sedangkan Arsy sudah menggeluti organisasi ini dan itu, dengan jabatan ketua ini dan itu. Referensi buku-buku ku juga sudah pasti lah tak menarik baginya, cuma sekadar novel-novel cinta. Terbalik dengannya yang begitu berbinar-binar saat membicarakan seputar perkembangan IT, politik, sirah, Fiqih, semua dilahapnya.
“Ra, lu udah baca buku ini?” tanyanya.
“Udah, itu yang tentang wanita shalihah lebih baik daripada bidadari bermata jeli ya?” aku balik bertanya.
“Yap bener, sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita shalihah Ra. Bahkan Rasulullah SAW pun menjaminnya bahwa ia lebih baik daripada bidadari-bidadari di Surga nanti Ra.
Aku diam. Bisu. Tidak tahu ingin menimpali seperti apa penjelasan darinya.
“Ra, gue yakin lu bisa lebih baik dari sekarang suatu hari nanti.” Arsy tersenyum pada ku.
“Ya iya lah, gue kan dalam proses menjadi akhwat shalihah.” Apa yang aku ucapkan? Ah sudah lah, Arsy pasti juga sudah mengira aku akan melontarkan jawaban-jawaban bodoh atas penjelasannya.
“Apa? Akhwat shalihah? Ga salah denger Ra? Hahaha. Beneri dulu jilbab lu Ra!”
JLEB.
Aku menelan ludah. Tak ku sangka kalimat itu yang keluar dari mulutnya. Sosok yang ku kagumi selama ini menganggap jilbab ku ga bener? Astaghfirullah. Malu. Memang penampilan aku sudah pasti “engga banget” bagi Arsy. Sepatu kets dengan jeans ketat, baju kaos panjang, dan jilbab paris tipis yang kupakai pun berantakan. Jauh sekali dari kata ‘akhwat shalihah’. Selama ini aku merasa nyampan padahal.
Aku hanya tersenyum. Begitu pun Ia.
***
Pagi ini berbeda. Aku sedikit kerepotan melipat 2 jilbab sekaligus. Mencari baju-baju longgar yang hampir sulit ditemui di tiap-tiap sisi lemari ku.
Ku langkahkan kaki keluar kamar kosanku. Pagi ini aku harus tutorial jam 9. Aku bergegas, tak sabar menunjukkan penampilan baru ku kepada semua penjuru makhluk dunia. Termasuk pada mu, Arsy.
Benar. Semua orang di kampus melihatku. Semua akhwat-akhwat kampus yang melihatku, tersenyum dan kemudian memberikan pelukan hangat untuk ku. Pelukan hangat yang dulu pernah aku dapatkan ketika pertama kali aku menggunakan jilbab ke SMA.
“Selamat ya Ukht, istiqamah ya!” Ucapan semua orang hampir sama. Semua bernada seperti itu.
Begitulah, semua terhipnotis dengan penampilan baru ku. Kini aku tidak seperti Humaira yang dulu. Humaira yang sekarang adalah seorang berjilbab gede dan panjang, bermanset kecil di pergelangan tangannya, memakai rok dan berkaos kaki. Ku lihat lagi perubahanku, cantik sekali. Aku hampir tersenyum sendiri saat membayangkan aku akan lebih baik dan lebih cantik daripada bidadari bermata jeli, seperti ucapan Rasulullah kepada Ummu Salamah. Insya Allah.
Dalam bayangan cermin itu, ada sosok Arsy di sana. Aku terhipnotis dengan kalimat-kalimat persuasive halusnya. Setiap kali aku melihat cermin dengan pakaian seperti ini, aku melihatnya. Selalu.
Meski Arsy sudah pergi jauh. Tanpa izin. Tanpa pamit terlebih dahulu padaku. Meski begitu, aku selalu melihat nya dalam cermin ku, dalam jilbab panjangku. Aku tak tau ke mana ia pergi, yang jelas dia meninggalkan ku. Lenyap dari peradabanku. Jatuh air mata ini setiap kali aku mencoba mengingat kebaikannya. Mengingat senyuman-senyumannya, yang tanpa ia ucapkan satu kali pun, aku yakin dia menyayangiku.
Arsy datang dengan tiba-tiba, mencerahkan hari-hari ku dengan tiba-tiba. Mengubah 100% hidup ku dengan tiba-tiba. Pergi pun dengan tiba-tiba. Takdir memang indah. Allah kirim kan dia, yang entah dari mana asalnya, datang kepadaku dan mengubah segalanya menjadi lebih baik. Bahkan aku belum sempat mengucapkan terima kasih kepada mu, Arsy.
Allah Maha Besar, dari-Nya hidayah itu datang dengan penuh kasih sayang, melalui sesosok makhluk bernama Arsy. Semoga Allah melimpahkan kasih sayang untuk mu, Arsy. Semoga kita bertemu di tempat dan momen yang tepat. Lalu bercerita panjang lagi seperti di Arafah. Tertawa lagi dan sama-sama menangis lagi. Jika tidak, maka izinkan aku untuk berdoa pada-Nya agar kita dipertemukan di Jannah-Nya nanti. Aamiin Ya Rabb.

Catatan yang sedang futur

Saya ini sedang futur...
ogah-ogahan datang ke pengajian tiap pekan.
Dengan alasan klasik...kuliahlah, lelahlah, kerjalah, sibuklah, inilah, itulah.

Saya ini sedang futur...
Jarang baca buku tentang Islam, lagi demen baca koran.
Dulu tilawah tidak pernah ketinggalan,
sekarang satu lembar udeh lumayan.
Tilawah sudah tidak berkesan,
nonton TV malah ketagihan.

Saya ini sedang futur...
Mulai malas shalat malam, jarang bertafakkur alam.
Ba'da shubuh, kanan kiri salam, lantas kembali mendengkur.
Apalagi waktu libur, sampai menjelang dzuhur

Saya ini sedang futur...
Lihat perut semakin buncit,
karena junkfood dan pangsit.
Kalo infaq mulai sedikit dan mulai pelit.
Apalagi shaum sunnah, perut rasanya ogah.

Saya ini sedang futur...
Tak lagi pandai bersyukur.
Seneng disanjung, dikritik murung...

Saya ini sedang futur...
Malas ngurusin da'wah,
rajin bikin ortu marah.
Sedikit sekali muhasabah,
sering kali meng-ghibah

Ya... saya memang sedang futur....

Mengapa saya futur...???
Mengapa tidak ada satu Ikhwah pun yang menegur dan menghibur???
Kenapa batas-batas mulai mengendur???
Kepura-puraan, basa basi dan kekakuan subur???
Kenapa di antara kita sudah tidak jujur???
Kenapa ukhuwah di antara kita sudah mulai luntur???
Kenapa di antara kita hanya pandai bertutur???

Ya Allah... berikan hambaMu ini pelipur...
Agar saya tidak semakin futur.
Apalagi sampai tersungkur...

.Kalian tau saya sedang futur....
Sedikit dzikir,
banyakan tidur.
Sahabat-sahabat tidak ada yang negur.

Kalian tau saya sedang futur....
Hati beku, otak ngelantur mikirin orang se-dulur,
Diri sendiri kagak pernah ngukur.

Kalian taulah saya sekarang....
Seneng duduk di kursi goyang,
perut kenyang hati melayang.
Mulut sibuk ngomongin orang,
aib sendiri nggak kebayang.

Kalian tau saya bengal....
Bangun malem sering ditinggal.
Otak bebal banyak mengkhayal,
sudah lupa yang namanya ajal.

Kalian tau saya begini...
Udah sok tau, seneng dipuji,
ngomong sok suci kayak murrabi,
kagak ngaca diri sendiri.

Kalian tau saya gegabah...
Petantang-petenteng merasa gagah,
diri ngaku-ngaku ikhwah kalo mau muhasabah.
Diri ini nggak beda sama sampah.

Kalian tau saya sekarang sudah kalah di medan perang.
Saya pengen pulang kandang....
Ke tempat saya dulu datang...

^___^  Kawan, Ingatkanlah saya dengan kefuturan ini,...

Sabtu, 22 September 2012

Penelitian Kuantitatif



PENELITIAN KUANTITATIF


A.    Definisi Penelitian Kuantitatif

Punch (1988:4) mendefinisikan penelitian kuantitatif merupakan penelitian empiris di mana data-datanya dalam bentuk sesuatu yang dapat dihitung. Menurut punch penelitian kuantitatif memerhatikan pada pengumpulan dan analisis data dalam bentuk numerik.
Creswell (1944:1-2) penelitian kuantitatif merupakan sebuah penyelidikan tentang masalah sosial berdasarkan pada pengujian sebuah teori yang terdiri dari variabel-variabel, diukur dengan angka, dan dianalisis dengan prosedur statistik untuk menentukan apakah generalisasi prediktif teori tersebut benar.
Bryman (2005:63) mendefinisikan proses penelitian kuantitatif dimulai dari teori, hipotesis, disain penelitian, memilih subjek, mengumpulkan data, memproses data, menganalisa data, dan menuliskan kesimpulan.
Kasiram (2008:149) dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, mendifinisikan penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menganalisis keterangan mengenai apa yang ingin diketahui.
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa penelitian kuantitatif adalah penelitian  untuk membuktikan teori/ kebenaran, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya dengan prosedur penelitian yang sistematis,  datanya berupa numerikal dan dianalisis dengan prosedur statistik.

B.     Asumsi Dasar Penelitian Kuantitatif

Asumsi dasar penelitian kuantitatif menurut Jujun S. Suriasumantri (1990), merupakan kebenaran yang diterima atau pernyataan yang dianggap benar dan relevan dengan bidang ilmu, kesimpulan sebagaimana adanya, tersurat, dan melandasi telaah ilmiah. Asumsi penelitian kuantitatif dikembangkan dari filosofis yang dapat dipahami dari unsur-unsur dari filsafat positivsme, yaitu:
1.      Asumsi Ontologis
Ontologi merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang objek atau materi kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, secara ontoligis penelitian kuantitatif menganggap bahwa gejala sosial bersifat riil dan memiliki pola yang hampir sama. Artinya bahwa gejala sosial memiliki sifat-sifat umum yang hampir sama, yang dapat ditangkap indera manusia sebagai fakta. Dalam penelitian kuantitatif semua yang diteliti (objek penelitian) dijelaskan dalam angka dan jumlah bukan dari kata-kata dan bahasa sehingga apa yang diteliti tersebut mendapatkan bukti yang otentik bahwa objek tersebut adalah nyata dan dapat diukur melalui angka. Bila tidak dapat diukur melalui angka, maka dalam penelitian kuantitatif objek tersebut dinyatakan tidak ada atau tidak real. Karena hasil penelitian kuantitatif berupa angka atau jumlah maka hasil tersebut dapat digeneralisasikan.
2.      Epistemologi
Epistimologi adalah suatu cara atau metode yang digunakan untuk memperoleh kebenaran pengetahuan. Adapun kriteria prosedur penelitian kuantitatif adalah:
a.       Bebas nilai dan objektif artinya, peneliti memiliki kebebasan dalam menentukan berbagai kriteria untuk menilai gejala sosial atau variabel yang akan diteliti. Penilaian peneliti ini tidak dapat dipengaruhi oleh penilaian orang lain. Misalnya, seorang peneliti kuantitatif boleh memberikan indicator bahwa perempuan cantik adalah perempuan yang berkulit putis, langsing, dan berambut lurus dan hitam. Penilaian peneliti adalah sah-sah saja karena ia bebas dari nilai-nilai yang diyakini orang lain.
b.      Kebenaran / pengetahuan dapat diperoleh dari Ilmu pengetahuan, itu merupakan cara terbaik yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengatahuan, dan karena konsep ilmu pengetahuan dilandasi oleh adanya fakta atas fenomena yang terjadi maka dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan dapat menggantikan akal sehat.
3.      Aksiologi
Aksiologis merupakan nilai atau kebermanfaatan ilmu dalam kehidupan manusia. Penelitan kuantitatif berupaya mencari hukum-hukum, prinsip, teori serta pola-pola yang bersifat universal, namun dan dapat diberlakukan di mana saja dalam semua konteks. Penelitian kuantitatif juga berupaya mencari penjelasan terjadinya sebuah gejala sosial dengan mengkaitkan dengan gejala sosial yang lain.
4.      Hakikat manusia
Penelitian kuantitatif menggunakan asumsi hakekat manusia pada prinsipnya manusia diatur oleh pola universal, sehingga karakteristik dan subyektivitas individu tidak diperhatikan. Manusia berada diantara komponen-komponen dalam suatu system baik mikro maupun makro, sehingga manusia tidak lepas dari pengeruh lingkungan. Implikasi hakikat manusia yang demikian dapat diperoleh karakteristik populasi penelitian. Karakteristik populasi akan diwakili oleh karakteristik individu sebagai sampel penelitian. Kebenaran hasil pengamatan sampel dapat diberlakukan pada populasi.

C.    Jenis-jenis Penelitian Kuantitatif

Dalam melakukan penelitian, peneliti dapat menggunakan metode dan rancangan (design) tertentu dengan mempertimbangkan tujuan penelitian dan sifat masalah yang dihadapi. Menurut fraenkell, J.R. dan wallen, N.E. menjelaskan bahwa penelitian kuantitatif dapat dibedakan berdasarkan metode penelitiannya, yang meliputi:
1.      Eksperimen
Tipe penelitian ini sering digunakan pada penelitian ilmu eksakta (ilmu alam) atau biasa disebut penelitian percobaan. Penelitian ini menggunakan beberapa kelompok yang diberikan perlakuan atau stimulus tertentu yang sesuai dengn tujuan penelitian.
2.      Penelitan survei
Penelitian survei merupakan penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah isu skala besar yang actual dengan populasi sangat besar sehingga diperlukan sampel ukuran sangat besar. Pengambilan data dengan menggunakan kuesioner atau angket sebagai sumber data utama. Dalam penelitian survey, responden diminta untuk memberikan jawaban singkat yang sudah tertulis di dalam kuesioner atau angket untuk kemudian jawaban dari seluruh responden tersebut diolah menggunakan teknik analisis kuantitatif tertentu.
3.      Penelitian korelasi
Penelitian yang digunakan untuk menemukan kemungkinan ada atau tidaknya hubungan antar dua atau lebih variabel bebas dengan variabel terikat. Tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada salah satu atau lebih factor lain berdasarkan pada koefisien korelasi.
4.      Penelitian kausal komparatif
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan adanya hubungan sebab akibat yang berdasarkan pada pengamatan terhadap akibat yang ada dan mencari kembali factor yang mungkin menjadi penyebab melalui data tertentu.

D.     Prosedur Penelitian Kuantitatif

Penelitian kuantitatif pelaksanaannya berdasarkan prosedur yang telah direncanakan sebelumnya.Adapun prosedur penelitian kuantitatif terdiri dari tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut.
1.      Identifikasi permasalahan
Perumusan masalah, yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2.      Tujuan penelitian
Penelitian kuantitatif bertujuan untuk menguji teori, membangun fakta, menunjukkan hubungan antar variabel, memberikan deskripsi statistik, menaksir dan meramalkan hasilnya.
3.      Kajian teori
kajian teorinya berpijak pada apa yang disebut dengan fungsionalisme struktural, realisme, positivisme, behaviourisme dan empirisme yang intinya menekankan pada hal-hal yang bersifat kongkrit, uji empiris dan fakta-fakta yang nyata.
4.      Pengembangan kerangka konsep
Penyusunan kerangka berpikir dalam penyusunan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
5.      Identifikasi dan definisi variabel
Menurut Kerlinger (1973) variabel adalah konstruk atau sifat yang akan dipelajari. Variabel dapat dikatakan sebagai suatu sifat yang diambil dari suatu nilai yang berbeda (different values). Dengan demikian, Variabel itu merupakan suatu yang bervariasi.
Penelitian kuantitatif menggolongkan variabel penelitian menjadi beberapa kategori, diantarnya sebagai berikut:
a.       Variabel independen/bebas
variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (terikat). Dinamakan sebagai variabel bebas karena bebas dalam mempengaruhi variabel lain.
b.      Variabel dependen/terikat
Variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Disebut variabel Terikat karena variabel ini dipengaruhi oleh variabel bebas/variabel independent.
c.       Variabel Moderator
Variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah) hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel moderator disebut juga variabel independen kedua.
d.      Variabel Intervening
Variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat, tetapi tidak dapat diamati dan diukur. Variabel ini merupakan variabel penyela/antara yang terletak diantara variabel bebas dan variabel terikat, sehingga variabel bebas tidak secara langsung mempengaruhi berubahnya atau timbulnya variabel terikat.
e.       Variabel kontrol
Variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga hubungan variabel bebas terhadap variabel terikat tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti. variabel kontrol sering dipakai oleh peneliti dalam penelitian yang bersifat membandingkan, melalui penelitian eksperimental.
6.      Hipotesis penelitian.
Hipotesis berasal dari kata hypo artinya lemah, dan thesis artinya pernyataan, jadi hipotesis dimaksudkan pernyataan yang masih lemah kebenarannya, sehingga perlu di uji secara empiris. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian kuantitatif ditirunkan atau dijabarkan kedalam pernyataan hipotesis. Hipotesis merupakan pernyataan hubungan variabel penelitian yang masih lemah kebenarnnya, sehingga perlu dibuktikan dalam penelitian. Pengajuan hipotesis menjadi keharusan dalam penelitian kuantitatif yang berfungsi memberikan arah penelitian dalam memperoleh hasil penelitian.
7.      Pengembangan disain penelitian.
penelitian kuantitatif, desainnya harus terstruktur, baku, formal dan dirancang sematang mungkin sebelumnya. Desainnya bersifat spesifik dan detil karena desain merupakan suatu rancangan penelitian yang akan dilaksanakan sebenarnya. Oleh karena itu, jika desainnya salah, hasilnya akan menyesatkan.
8.      Teknik sampling
pada pendekatan kuantitatif, jumlah sampel besar, karena aturan statistik mengatakan bahwa semakin sample besar akan semakin merepresentasikan kondisi riil. Karena pada umumnya pendekatan kuantitatif membutuhkan sample yang besar, maka stratafikasi sample diperlukan . Sampel biasanya diseleksi secara random.
9.      Teknik pengumpulan dan kuantifikasi data.
pendekatan kuantitatif digunakan maka teknik yang dipakai akan berbentuk observasi terstruktur, survei dengan menggunakan kuesioner, dan eksperimen. Datanya bersifat kuantitatif / angka-angka statistik ataupun koding-koding yang dapat dikuantifikasi. Data tersebut berbentuk variabel-variajbel dan operasionalisasinya dengan skala ukuran tertentu, misalnya skala nominal, ordinal, interval dan ratio.
10.  Analisis data.
Analisa dalam penelitian kuantitatif bersifat deduktif, uji empiris teori yang dipakai dan dilakukan setelah selesai pengumpulan data secara tuntas dengan menggunakan sarana statistik, seperti korelasi, uji t, analisa varian dan covarian, analisa faktor, regresi linear.

DAFTAR PUSTAKA
Saifudin Azwar, MA. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nanang martono. 2010. Metode penelitian kuantitaif analisis isi dan data sekunder. Jakarta: PT R aja Grafindo Persada

Penelitian Positivistik



PENELITIAN POSITIVISTIK

Sejarah Positivistik
Pada abad ke-19, dunia filsafat sangat dipengaruhi oleh filsafat positivisme. Pengaruh itu terutama sangat terasa di bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam sejarah filsafat Barat, orang sering menyatakan bahwa abad ke-19 merupakan “Abad Positivisme”. Suatu abad yang ditandai dengan dominasi fikiran – fikiran ilmiah, atau apa yang disebut ilmu pengetauan modern. Kebenaran atau kenyataan filsafati dinilai dan diukur menurut nilai positivistiknya, sedang perhatian orang kepada filsafat, lebih ditekankan kepada segi-seginya yang praktis bagi tingkah laku dan perbuatan manusia. Orang tidak lagi memandang penting tentang “dunia yang abstrak”.
Auguste Comte, atau nama lengkapnya Isidore Auguste Marie Francois Xavier Comte (1798 – 1857), pendiri aliran filsafat positivisme, telah menampilkan ajarannya yang sangat terkenal, yaitu hukum tiga tahap (law of three stages). Melalui hukum ini dinyatakan bahwa sejarah manusia, baik secara individual maupun secara keseluruhan, telah berkembang menurut tiga tahap, yaitu tahap teologi atau fiktif, tahap metafisik atau abstrak, dan tahap positif atau ilmiah atau riil. Secara eksplisit juga ditekankan bahwa istilah “positif” adalah suatu istilah yang dijadikan nama bagi aliran filsafat yang dibentuknya sebagai sesuatu yang nyata, pasti, jelas, bermanfaat, serta sebagai lawan dari sesuatu yang negatif.
1.      Tahap teologi atau fiktif
      Tahap ini merupakan tahap pertama atau awal setiap perkembangan jiwa atau masyarakat. Dalam tahap ini manusia selalu berusaha untuk mencari dan menemukan sebab yang pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada. Manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kekuasan adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memiliki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk insani biasa. Menurut Auguste Comte, tahap teologi ini tidak akan muncul begitu saja , melainkan didahului pula oleh suatu perkembangan secara bertahap, yaitu:
a.       Fetisyisme/animisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan, bahwa segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia mempunyai suasana kehidupan yang sama seperti manusia sendiri. Bahkan segala sesuatu yang berada di sekeliling tadi akan mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap kehidupan manusia sedemikian rupa sehingga manusia harus menyesuaikan diri dengannya. Adapun yang dimaksud dengan segala sesuatu itu adalah benda-benda alam seperti gunung, pohon, batu dan lain lain.
b.      Politeisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari oleh pemikiran-pemikiran yang mempunyai anggapan bahwa daya pengaruh atau kekuatan penentu tidak lagi berasal dari benda-benda yang berada di sekeliling manusia, melainkan berasal dari makhluk-makhluk yang tidak kelihatan yang berada di sekeliling manusia. Oleh karena itu, segala fikiran, tingkah laku, dan perbuatan manusia harus disesuaikan serta diabdikan kepada keinginan para makhluk yang tidak keliatan tadi. Berdasarkan kepercayaan ini maka kepercayaan timbul bahwa setiap benda, gejala dan peristiwa alam dikuasai dan diatur oleh dewanya masing-masing. Akibatnya, demi kepentingan dan keselamatan dirinya, manusia harus mengabdi dan menyembah para dewa tadi melalui upacara-upacara ritual.
c.       Monoteisme, yaitu suatu bentuk kehidupan masyarakat yang didasari bahwa pengaruh dan kekuatan penentu itu tidak lagi berasal dari dewa-dewa melainkan berasal dari satu kekuatan mutlak, adikodrati, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan merupakan satu-satunya penentu, sebab pertama dan tujuan akhir segala sesuatu yang ada, sehingga dengan demikian segala fikiran, tingkah laku dan perbuatan manusia selalu diorientasikan kepada Tuhan, sejalan dengan dogma – dogma agama yang dianut manusia.
2.      Tahap metafisik atau abstrak
Dengan berakhirnya tahap monoteisme, maka berakhir pula tahap teologi atau fiktif. Hal ini disebabkan karena manusia mulai merubah cara-cara berfikirnya, dalam usahanya untuk mencari dan menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gejala-gejala alam. Dogma-dogma agama ditinggalkan, kemampuan akal budi dikembangkan. Tahap metafisik menurut Auguste Comte merupakan tahap peralihan, walaupun dalam tahap metafisik ini jiwa manusia masih menunjukkan hal-hal yang tidak berbeda dengan apa yang dilakukan dalam tahap teologi, namun disini manusia sudah mampu melepaskan diri dari kekuatan adikodrati, dan beralih pada kekuatan abstraksinya. Pada saat inilah istilah ontologi mulai dipergunakan. Karena itulah dalam tahap metafisik, jiwa manusia sering mengalami konflik, karena di satu pihak pengaruh  
Paradigma Positivistik
Secara etimologis historis, istilah dasar positif dikenal luas karena usaha keras filsuf Perancis Auguste Comte. Dalam kerangka filsafat positivisme, pengetahuan manusia dianggap bermakna jika dapat dicapai dan dibuktikan melalui pengamatan inderawi empirik. Implikasi dari pernyataan itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah pun dianggap valid sejauh diperoleh melalui prosedur ketat ilmiah positivistik atau melalui proses yang mengandalkan pada pengamatan-pengamatan dan eksperimen-eksperimen yang bersifat empirik inderawi.
Menurut paradigma positivisme, pengetahuan terdiri atas berbagai hipotesis yang diverifikasi dan dapat diterima sebagai fakta atau hukum. Ilmu pengetahuan mengalami akumulasi melalui proses pertambahan secara bertahap, dengan masing-masing fakta (fakta yang mungkin) berperan sebagai semacam bahan pembentuk yang ketika ditempatkan dalam posisinya yang sesuai, menyempurnakan bangunan pengetahuan yang terus tumbuh. Ketika faktanya berbentuk generalisasi atau pertalian sebab-akibat, maka fakta tersebut bisa digunakan secara sangat efisien untuk memprediksi dan mengendalikan. Dengan demikian generalisasi pun bisa dibuat, dengan kepercayaan yang bisa diprediksikan.
Jika dilihat dari tiga pilar keilmuan, ciri-ciri positivistik yaitu: (a) aspek ontologis, positivistik menghendaki bahwa arealitas penelitian dapat dipelajari secara independen, dapat dieliminasikan dari obyek lain dan dapat dikontrol; (b) secara epistemologis, yaitu upaya untuk mencari generalisasi terhadap fenomena; (c) secara aksiologis, menghendaki agar proses penelitian bebas nilai. Artinya, peneliti mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi meyakinkan yang berlaku bebas waktu dan tempat. Kevalidan penelitian positivisme dengan cara mengandalkan studi empiri. Generalisasi diperoleh dari rerata di lapangan. Data diambil berdasarkan rancangan yang telah matang, seperti kuesioner, inventori, sosiometri, dan sebagainya. Paham positivistik akan mengejar data yang terukur, teramati, dan menggeneralisasi berdasarkan rerata tersebut.
Kata kunci positivisme yang penting adalah jangkauan yang bisa dibuktikan secara empirik (nyata) oleh pengalaman indrawi (dilihat, diraba, didengar, diraba dan dirasakan). Misalnya: seseorang pada akhirnya berkesimpulan dan itu “benar”, bahwa logam apapun jenisnya akan memuai jika dipanaskan. Proses nalar tidak lain berlandaskan pada pengujian terhadap berbagai jenis logam yang memuai saat dipanaskan. Penemuan bukti bahwa logam tersebut dapat memuai dipandang sebagai kebenaran yang bersifat umum, berawal pada peristiwa yang bersifat khusus. Pengambilan kesimpulan seperti ini disebut sebagai penalaran induktif. Cara penalaran ini merupakan proses yang diawali dari fakta-fakta pendukung yang spesifik, menuju ke arah yang lebih umum untuk mencapai kesimpulan. Contoh lainnya: Ayam hitam yang kita amati mempunyai hati. Ayam putih yang diamati juga mempunyai hati. Kesimpulannya adalah setiap ayam mempunyai hati.
Filsafat positivistik memberikan pengaruh yang nyata dalam mengkaji ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pendekatan positivisme dipakai sangat luas dalam penelitian-penelitian dasar, demikian juga penelitian di bidang pendidikan. Penganut positvistik sepakat bahwa tidak hanya alam semesta yang bisa dikaji, melainkan fenomena sosial termasuk pendidikan harus mencapai taraf objektifitas dan valid melalui metode yang empirik. Dalam rangka mengkaji gejala/fenomena sebagai ilmu pengetahuan ilmiah, positivisme memiliki pokok-pokok paradigma positivistik sebagai berikut:
1.      Keyakinan bahwa suatu teori memiliki kebenaran yang bersifat universal.
2.      Komitmen untuk berusaha mencapai taraf “objektif” melalui fenomena.
3.      Kepercayaan bahwa setiap gejala dapat dirumuskan dan dijelaskan mengikuti hukum sebab akibat.
4.      Kepercayaan bahwa setiap variabel penelitian dapat dididentifikasikan, didefinisikan dan pada akhirnya diformulasikan menjadi teori dan hukum.
Pendekatan Positivistik dalam Penelitian
Gejala alam maupun gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur. Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa menjalankan peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan menjadi pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya kepastian dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat dikumpulkan secara sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan diverifikasi. Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara positivistik.
Positivistik sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah ini juga merujuk pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif, terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena, benda-benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini adalah bahwa kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena) seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan determinisme yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus, namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan yang penuh diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus berani membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan kondisi lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan verifikasi sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara subyek peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif. Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang diteliti. Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan variabel lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi awal setelah membangun teori secara handal.
Pendekatan positivistik mewarnai paradigma dan mekanisme kegiatan ilmiah penelitian dalam rangka mencapai kesimpulan yang bermakna sebagai pengetahuan. Nilai penting objektivitas dan validitas pada suatu penelitian menjadi titik tolak mekanisme penelitian saat ini. Suatu penelitian yang memiliki dasar positivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Menekankan objektivitas secara universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.      Menginterpretasi variabel yang ada melalui peraturan kuantitas atau angka.
3.      Memisahkan peneliti dengan objek yang hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti, dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang hendak diteliti.
4.      Menekankan penggunaan metode statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Penelitian dengan pendekatan positivisme menggunakan beberapa tahap yaitu: Pertama, Pengajuan masalah umum berdasarkan rasional ilmiah tertentu. Kedua, spesifikasi masalah ke dalam ruang lingkup yang lebih khusus serta diikuti pengembangan hipotesis berdasarkan kerangka teoritik tertentu. Untuk menjawab masalah umun dan menjawab hipotesis dilakukan tahap ketiga yaitu, pembuatan jenis rancangan penelitian yang relevan untuk menjawab permasalahan umum dan menguji hipotesis yang telah disusun. Jenis rancangan penelitian dapat bermacam-macam seperti kuasi eksperimen, eksperimen, survei, ex post facto, analisis basis data dan rekaman. Langkah keempat adalah pengumpulan data. Alat pengumpulan yang digunakan menggunakan wawancara terstruktur, pengamatan terkontrol, dan memakai angket. Secara umum data penelitian dalam kerangka positivistik terwujud pada pola-pola yang bersifat kuantitatif. Kelima, tahap terakhir berupa analisis data yang diperolah. Seperti pada penelitian ilmu alam, teknik analisis yang digunakan bersifat statistik matematis seperti analisis faktor, analisis jalur, analisis kanonik, analisis diskriminan atau bahkan sampai pada teknik analisis yang paling canggih seperti meta-analisis. (kerlinger,1986)
Penelitian Kuantitatif dengan Pendekatan Positivistik
Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif  merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data, ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi. (Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke kuantitatif atau kualitatif,sehingga dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan alur pemikiran yang tepat.
Dalam metode kuantitatif, setiap event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan partikularistis. Jadi hubungannya terletak pada penggunaan paradigma positivis dalam menyusun kerangka penelitian kuantitatif.
Filosofi penelitian dikembangkan oleh filsafat positivisme dapat dijelaskan dari unsur-unsur dalam filsafat secara umum, yaitu :
1.   Ontologi (materi) merupakan unsur dalam pengembangan filsafat sebagai ilmu yang membicarakan tentang obyek (materi) kajian suatu ilmu. Dalam hal ini, penelitian kuantitatif akan meneliti sasaran penelitian yang berada dalam kawasan dunia empiri.
2.   Epistimologi (metode) merupakan unsur dalam pengembangan ilmu filsafat yang membicarakan bagaimana metode yang ditempuh dalam memperoleh kebenaran pengetahuan.
3.   Aksilogi (nilai). Dalam hal ini penelitian kuantitatif menjunjung tinggi nilai keilmuan yang obyektif yang berlaku secara umum dan mengesampingkan hal-hal yang bersifat spesifik.
Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1.      Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil  penelitian terdahulu”.
2.      Analisis, sintesis dan refleksi
Metodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3.      Fakta obyektif
a.    Variabel
Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.
b.   Eliminasi data
Cara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti.
c.    Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.      Argumentasi
a.    Fungsi parameter
Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab-akibat).
b.   Populasi
Subyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti.
c.    Wilayah atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama.
5.      Realitas
a.    Desain standar
Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.
b.   Uji kebenaran
Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya.
Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
Kritik Positivistik
Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar. Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata diramalakan (unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1.      Kehendak bebas manusia yang unik
2.      Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk hukum
3.      Peran kesadaran dan makna dalam kehidupan sosial
Dilihat secara ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoretik, dengan konsekuensi konseptualisasi teoretik ilmu yang dikembangkan dengan metode yang melandaskan pada positivisme menjadi tidak jelas. Sehingga ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme (ilmu-ilmu sosial) menjadi semakin miskin konseptualisasi dan  tidak memunculkan teori-teori baru yang mendasar. Sebagai akibatnya, banyak ilmu sosial mengalami stagnasi.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi.2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Muhadjir, Noeng. 2001. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit Rake Sarasin
Sukardi. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta : Penerbit Bumi Aksara
Hamami, Tasman, et al. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Denzin, Norman K, et al. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Slamet, Yulius . 2008 . Pengantar Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press
Widodo, T. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif. Surakarta : LPP UNS
http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/167-perbedaan-paradigma-positivism-dan-interpretivism.html diunduh pada tanggal 12 September 2012
Hanurawan, Fattah. 1998. Pendekatan Positivistik, Interpretif, dan Kritis dalam Penelitian Pendidikan. Forum Penelitian Pendidikan 10, 3-16